Saturday, 18 January 2025

Derap Langkah Kaki



Mentari pagi merayap malu di antara gedung-gedung pencakar langit. Udara kota Jakarta yang mulai menyesak, belum sepenuhnya terbangun dari lelapnya. Di sebuah gang sempit, di antara tumpukan sampah dan kardus bekas, seorang lelaki tua bernama Pak Budi memulai harinya.

Pak Budi bukan orang berada. Ia tinggal di gubuk reyot di ujung gang, hasil belas kasihan pemilik tanah. Pekerjaannya serabutan, mulai dari memulung, mengamen, hingga menjadi badut jalanan jika ada rezeki. Namun, ada satu hal yang tak pernah lepas darinya: sepasang sepatu butut berwarna cokelat.

Sepatu itu bukan sembarang sepatu. Dulu, sepatu itu adalah milik anaknya, Rio. Rio, yang bercita-cita menjadi seorang tentara, selalu merawat sepatu itu dengan baik. Setiap hari, ia membersihkannya hingga mengkilap, membayangkan derap langkah kakinya saat berbaris di lapangan upacara.

Namun, takdir berkata lain. Sebuah kecelakaan tragis merenggut nyawa Rio beberapa tahun lalu. Pak Budi, yang sangat terpukul, hanya bisa menyimpan kenangan tentang anaknya, salah satunya adalah sepatu butut itu.

Setiap pagi, sebelum memulai aktivitasnya, Pak Budi selalu membersihkan sepatu Rio. Ia mengelapnya dengan kain lusuh, persis seperti yang dulu dilakukan Rio. Setelah itu, ia memakainya. Sepatu itu kebesaran untuk kakinya yang kurus, namun ia tetap memakainya dengan bangga.

Derap langkah kaki Pak Budi di gang sempit itu menjadi irama tersendiri. Langkahnya pelan, kadang terseret, namun tetap bersemangat. Derap itu seolah menjadi pengingat akan Rio, akan cita-cita yang tak sempat tercapai, dan akan harapan yang masih tersisa.

Suatu hari, saat Pak Budi sedang mengamen di perempatan jalan, seorang anak kecil menghampirinya. Anak itu menatap sepatu Pak Budi dengan mata berbinar.

"Wah, sepatu Bapak bagus sekali!" seru anak itu.

Pak Budi tersenyum. "Sepatu ini dulu milik anak saya," jawabnya dengan suara serak.

Anak itu mengangguk-angguk. "Pasti anak Bapak gagah sekali," ujarnya.

Mendengar ucapan itu, mata Pak Budi berkaca-kaca. Ia mengusap kepala anak itu dengan sayang.

Sejak saat itu, Pak Budi semakin bersemangat. Derap langkah kakinya semakin mantap. Ia merasa Rio selalu bersamanya, melalui sepatu butut itu. Derap langkah kaki itu bukan hanya derap langkah seorang lelaki tua, tapi juga derap langkah seorang anak muda yang penuh harapan, yang terus bersemi di hati seorang ayah.

Di tengah hiruk pikuk kota Jakarta, derap langkah kaki Pak Budi terus terdengar, sebuah simfoni kecil tentang cinta, kehilangan, dan harapan yang tak pernah padam. Derap itu menjadi saksi bisu perjalanan hidup, dari gang sempit hingga ke sudut-sudut kota, membawa pesan bahwa kenangan akan orang yang kita cintai akan selalu hidup di hati kita.

Semoga cerpen ini bisa memenuhi harapan Anda. Jika ada hal lain yang ingin ditanyakan atau diubah, jangan ragu untuk memberitahu saya.

No comments:

Post a Comment