Saturday, 18 January 2025

KARYAKU YANG TAK LAKU

          **Karyaku yang Tak Laku**  

Malam itu hujan turun dengan deras, seperti menertawakan tumpukan naskah di sudut kamar kosku. Sudah setahun aku menulis tanpa henti, namun hasilnya selalu sama: nol.  

Di atas meja kecil, secangkir kopi yang sudah dingin menemani laptop tua yang layarnya sering berkedip. Aku menatap kosong pada layar yang memuat surel terakhir dari penerbit: *"Terima kasih atas kiriman naskah Anda. Namun, kami belum dapat menerbitkan karya Anda saat ini."*  

Itu penolakan yang ke-15 tahun ini.  

Aku menundukkan kepala, menatap naskah-naskah yang mulai menguning karena terlalu lama teronggok di sudut. Judul-judulnya terdengar biasa, mungkin terlalu sederhana: *Rindu di Atas Langit, Sepotong Hati yang Terserak, Warna Senja di Ujung Jalan.*  

"Kenapa aku tak pernah berhasil?" gumamku pada diri sendiri.  

Aku menyalakan kembali laptop, mencoba membaca ulang cerpen terakhir yang kutulis. Cerita tentang seorang pelukis yang menjual jiwanya demi mendapatkan inspirasi. Ironisnya, bahkan ceritaku sendiri tak bisa menginspirasiku.  

Lalu pintu kamar diketuk. Itu Rani, teman sekamarku. Ia membawa sekantong gorengan dan wajah yang penuh senyum.  

"Masih nulis?" tanyanya sambil duduk di lantai.  

Aku mengangguk, lalu menunjuk tumpukan naskah. "Tapi percuma. Semua orang bilang tulisanku itu biasa saja. Enggak ada yang mau terbitin."  

Rani mengunyah risoles sambil berpikir. "Mungkin masalahnya bukan pada tulisanmu, tapi pada ekspektasi orang-orang."  

"Maksudmu?"  

"Kadang, karya yang bagus enggak selalu laku. Tapi bukan berarti karya itu enggak berarti."  

Kata-katanya sederhana, tapi seperti tamparan keras bagiku. Selama ini, aku menulis untuk diterima, bukan untuk mengekspresikan diriku. Aku lupa alasan mengapa aku mulai menulis: karena aku mencintainya.  

Aku tersenyum kecil. "Kamu benar."  

Hari itu, aku memutuskan berhenti mengirimkan karyaku ke penerbit. Sebagai gantinya, aku mulai menulis di blog sederhana yang kubuat sendiri. Aku tak lagi peduli apakah orang akan membacanya atau tidak.  

Seminggu berlalu, lalu sebulan. Komentar pertama datang: *"Kisah ini mengingatkan saya pada masa kecil saya. Terima kasih sudah menulis."*  

Aku terdiam, mataku berkaca-kaca. Mungkin memang karyaku tak laku di pasaran, tapi jika bisa menyentuh satu hati saja, itu sudah cukup bagiku.  

Sejak saat itu, aku menulis dengan bebas, tanpa beban, tanpa target. Karyaku memang tak laku di toko buku besar, tapi di hati pembaca yang menemukannya, aku tahu tulisanku hidup. 

~Kalangan,2025~
Biarkan Robot Al yang mengerikan semua

No comments:

Post a Comment